MEMANDANG LAUTAN
Karta Widjaja, 1 November 2016
kami terlahir di lengan gelombang bersama perpindahan dari gelap ke terang. beberapa memilih untuk tinggal di daratan karena hendak memanggil beburungan dengan bebenihan yang berdaun rindang. sejak saat itu, kami berpisah. yang di darat bercocok tanam, yang di laut menjadi kelebat samar, sesekali melintas ketika taufan besar yang mengangkat air jadi gegunungan. kami menyebutnya selasa, hari yang ketiga, dengan janji akan menjaga yang terombang-ambing menyinggahi pelabuhan demi pelabuhan. sebagian kami tenggelamkan karena meledakan ikan, selebihnya kami jumpakan dengan senyum isteri di pelipir punggung keteduhan.
rambut kusut
waktu beringsut
hanggara, demikian ada yang menyebutnya. seperti anak panah yang akan melenting, maka langkah harus ditarik hingga batas tegang, bukan ke titik netral, tetapi mampu bersyukur atas penghinaan, seperti yang tercetak di taif, arah tenggara sebelum terbenam. hari api, bagi yang terus dibakar salah duga tentang kejadian. kesejukan, bagi yang pernah terjebak di palung sunyi kamar puji. sesungguhnya, tak ada yang bisa menutup pintu ketika angin datang, dengan cepat maupun pelan.
tak perlu merasa dihinakan walau perahu kami ringkih, tak perlu dibela walau alat kami terbatas. doakan saja kami agar tetap bisa melaut, agar perut anak isteri kami tidak makin kisut. kami akan tetap di negeri ini, tak akan beringsut.
Karta Widjaja, 2 November 2016
sesekali kami hanyalah percik cahaya di lamat langit yang terbingkai cakrawala. hari keempat, rabu bukanlah air mata.
MEMANDANG ANGIN
Karta Widjaja, 3 November 2016
yang meliuk itu bukanlah dedaun dan reranting, tetapi karena angin sedang membelai lekuk-lekuk senja dan pagi. hari kelima, kamis, mungkin serupa respati, air mata mengeras di pelupuk hati.
MEMANDANG JALANAN
Karta Widjaja, 4 November 2016
jalanan yang senyap ini akan berjubel subuh nanti, bukan karena menanam pohon buah-buahan atau menancapkan cabang yang bisa tumbuh. ini hari keenam jumat tambir. air bertemu air, kami hendak memilin batin agar menjadi beludru. karena itu kami memohon meski dalam kuyu. semoga luluh.
MEMANDANG KERUMUNAN
Karta Widjaja, 5 November 2016
malam memang gelap, ayah
malam memang gelap maya
ada gerak mengendap
menghimpun titik kelam
sesekali terdengar bunyi itu, yang selalu memicu ingatanku, tentang para sahabat yang berhamburan, diserbu anjing dan pentungan. tentu saja, dengan itu aku di sini, tiarap disekap sunyi, mengabaikan kisah segala penunggang dan yang ditungganginya, tetapi gegara diseret daun yang berbisik, "betapa mengerikannya fitnah, bukan hanya bahaya, walau hanya satu kata." kemudian jumat bergeser ke sabat, hari ke tujuh di bulan setengah, masih termaktub dalam hikayat wuku tambir, karena itu aku terus melipir.
MEMANDANG PANDANGAN
Karta Widjaja, 8 November 2016
setiap ada yang pergi, ilalang itu membakar diri, asapnya seperti hendak merangkai kata-kata dengan susunan yang mudah dicerna: "aku kini menguntai senyum dan tangis menjadi ronce penghias keranda, setelah nyawa terpisah, kita retak menjadi diri. kini dan esok perih tak berperi."
bunga penantian mulai mekar
bunga hidup makin diserut
setiap yang menjadi getar
ada saatnya beku dan surut
kini, hujan memburamkan warna tanah juga cahaya. kaki-kaki bersijingkat meninggalkan senyap yang sedang mengurutkan nama-nama. setelah hari ini, kita tak tahu siapa antrian berikutnya.
bunga penantian mulai mekar
bunga hidup makin diserut
setiap yang menjadi getar
ada saatnya beku dan surut
kini, hujan memburamkan warna tanah juga cahaya. kaki-kaki bersijingkat meninggalkan senyap yang sedang mengurutkan nama-nama. setelah hari ini, kita tak tahu siapa antrian berikutnya.
MEMANDANG PERUBAHAN MUSIM
Karta Widjaja, 9 November 2016
cuaca dimulai ketika ari-ari dikubur dengan lampu menyala hingga empat puluh hari, di situ ada janji yang menetes dari nafas bertemu api. sesudahnya musim bertukar dari basah ke kering, lumpur mengeras jadi debu, menyebar hingga ada pancer yang mengerling.
malam tidak purnama
bintang asal cahaya
gelap bukan bencana
beberapa kemudian tinggal di cekung bukit, mengurut merica sebelum kapal penuh serdadu menyinggahi pulau-pulau kecil. setelah itu, tekukur berganti bulu, bunga-bunga tebu kemudian mekar ketika senja bertukar subuh, itu makanya berwarna putih, tanda embun selesai melantunkan tasbih.
Karta Widjaja, 11 November 2016
setelah subuh, air mata mendung membeku di pucuk daun agar dapat memantulkan kilau matahari yang berulang, berabad-abad. setiap masing-masing kemudian memiliki hak untuk menghirup udara dengan perjanjian yang terikat dan terhitung dengan angka: kala ider, ketika mangsa mengintari, atau kalender. setiap diri kemudian menjalaninya dalam pelayaran masing-masing, ada yang melalui sungai luas dan arus tenang hingga muara, ada yang terombang-ambing melalui jeram-jeram terjal dengan patah dayung, tak sanggup mengaduh atau sekedar menitikan air mata karena akan kehilangan pandangan. tetapi, setiap masing-masing itu, sebenarnya bukan dari kelihatannya. ada yang pelayarannya tampak damai dan tenang, jiwanya jatuh bangun dalam badai dan kebakaran kehendak. ada yang pelayarannya penuh jeram, jiwanya dalam syukur atas seluruh kejadian. di luar dan di dalam belum tentu menunjukan keterhubungan. berbahagialah yang sampai pada wujud tenang di luar dan tenang di dalam. salut untuk yang selalu bisa tenang di dalam meskipun di luar dikepung dengan multi bencana. setidaknya pucuk kelopak mawar itu masih tersenyum dalam bisikan: "untuk yang mulia, tak akan hina meski dihinakan. untuk yang hina, tak akan mulia meski dimuliakan." semoga para sahabat dalam ketenangan. tabek.
sesekali langit menggelap, bukan mengirim hujan, tetapi semacam isyarat bahwa kangenku tak pernah berpaling. |
Karta Widjaja, 15 November 2016
kadang jiwaku menyelinap di reranting bayang-bayang yang mengirimkan kabut di musim kering. sesekali langit menggelap, bukan mengirim hujan, tetapi semacam isyarat bahwa kangenku tak pernah berpaling.
menjalari
merayapi
ruas-ruas senyap
hingga sunyat.
aku tersaruk kini, membaui setiap keringat para pengolah tanah, dari selat ke selat, setiap jengkal, setiap percik, pada lelehannya bertebaran doa, "hari akan kusobek dengan tangisku karena selalu banyak orang memiliki alasan untuk
membunuh."
sejatinya, puisi selalu tidak ada *)
setiap ada yang mati karena ideologi.
BIAR SAJA, KITA TERBIASA TIDAK ADA *)
Karta Widjaja, 16 November 2016
daun bambu itu menggeliat sebelum matahari memapah mendung. perjalanan ke tempat-tempat yang akrab akan membuat jiwa kembali lentur hingga sanggup menerima yang tidak ada dan memberikan yang ada. Itu makanya tercatat kisah Ibrahim, merelakan yang baru didapat, meski lama diidamkan melalui wirid di malam-malam penat.
*) Menyapa sahabat Teguh Suprayogi yang sedang meluruskan rambut
SAJAK GAGAL *)
Karta Widjaja, 22 November 2016
sajak ini gagal kutulis, setelah para pertapa tak sanggup menahan gelombang panas yang dikirim hujan deras. yang tersenyum dua menit lalu, bisa jadi akan meradang dengan segenggam ledakan yang disodorkan dari tangannya. tangan yang sama kadang gemetar menadah dalam doa.
burung lari setelah kadal terbang
pohon membesar tanpa batang
di petak yang lain, pohon bodhi menghanguskan diri agar tidak tersambung dengan benang yang menyulut api di perkampungan, begitu gampang memisahkan nyawa, bisa dengan membakar atau apa saja.
sajakku gagal karena diperas dari tangisan gagal seorang bocah.
makin ke dalam dingin kian mendesak, kabut menebal dan pohon menua,
sulit membedakan pagi atau senja karena hutan kehilangan warna.
setidaknya, tak ada kalimat yang saling merendahkan dan saling menghina.
semua hanya samar, meredup tanpa menyebar.
*) Salam hormat buat Teteh Lea Pamungkas
SONET MENYEDUH KOPI DI HARI JUMAT *)
yang kuseduh adalah silsilah trauma
mendesak dari labirin duka dan gerhana
mencair bersama jumat minggu kedua
hitungan wage dengan wuku bethara kurewa
awalnya bisa mulai sedekah sesendok madu
agar ketika larut tak berjumpa keluh
kopi merebak, beranda memerangkap semu
saling tersenyum dan bersalaman jika bertemu
sebuah sarung telah kubuka dari lipatan
lemari hati menyongsong dengan igauan
tidak ke barat, karena wangi di selatan
dari secangkir kopi riwayat telah terseduh
setiap jumat terbit lukisan kupu-kupu
semoga padamu, hanya padamu
*) colek Mirza Ahmadhevicko
MEMANDANG GUNUNG DARI GUNUNG
Karta Widjaja, 27 November 2016
Gus dan Buya, berbahagialah selalu anak hingga cucunya, penunggang kuda yang menapak di jalan bumi, walau karenanya seluruh jiwa menyulut api, membakarmu dengan caci maki. Maafkan kami, Gus dan Buya, kami hanya bisa meniti jembatan-jembatan bambu di sudut-sudut gunung, merangkul para petapa yang sedang ngungun. jelalatan mereka digoda logam dan indung telur, ketika musim belum sepenuhnya tertidur.
Gus dan Buya, kami kehilangan banyak sahabat yang kami kira paham tanda, ternyata kalbunya tidak lebih panjang dari caramu mendedah peta, bahwa di belakang ini serigala-serigala siap kencang berlari, menerkam seluruh yang tersisa hingga benih. Karena itu, kami tak sanggup di kota, biar Cak, Kang, dan Gus yang lain saja bertahan di sana, mereka cukup kuat menahan bah, juga taifun yang dicipta manusia.
Gus dan Buya, kami ke belakang bukan karena takut di depan atau hendak lari dari taring yag maha kejam. kami sedang memadamkan bara yang mulai disulut di lumbung-lumbung rahasia. kita saling mendoakan saja, semoga kita tidak longsor di jurang yang sama. salam bakti Gus dan Buya, salam akal budi dan ketenangan jiwa.
*) Colek Cak Robikin Emhas, Joko Sustanto, Herizal E Arifin, Alamsyah Saragih, Paskah Irianto, Rakyat Tandang, Usep Setiawan, Candra Kusuma, Muhammad Syukri, Yudi Fajar, Arief Setyadi, Bung Jack, Abahna Jang Hanif, dan teman-teman lain
Karta Widjaja, 22 November 2016
yang kuseduh adalah silsilah trauma
mendesak dari labirin duka dan gerhana
mencair bersama jumat minggu kedua
hitungan wage dengan wuku bethara kurewa
awalnya bisa mulai sedekah sesendok madu
agar ketika larut tak berjumpa keluh
kopi merebak, beranda memerangkap semu
saling tersenyum dan bersalaman jika bertemu
sebuah sarung telah kubuka dari lipatan
lemari hati menyongsong dengan igauan
tidak ke barat, karena wangi di selatan
dari secangkir kopi riwayat telah terseduh
setiap jumat terbit lukisan kupu-kupu
semoga padamu, hanya padamu
*) colek Mirza Ahmadhevicko
Karta Widjaja, 27 November 2016
Gus dan Buya, berbahagialah selalu anak hingga cucunya, penunggang kuda yang menapak di jalan bumi, walau karenanya seluruh jiwa menyulut api, membakarmu dengan caci maki. Maafkan kami, Gus dan Buya, kami hanya bisa meniti jembatan-jembatan bambu di sudut-sudut gunung, merangkul para petapa yang sedang ngungun. jelalatan mereka digoda logam dan indung telur, ketika musim belum sepenuhnya tertidur.
Gus dan Buya, kami kehilangan banyak sahabat yang kami kira paham tanda, ternyata kalbunya tidak lebih panjang dari caramu mendedah peta, bahwa di belakang ini serigala-serigala siap kencang berlari, menerkam seluruh yang tersisa hingga benih. Karena itu, kami tak sanggup di kota, biar Cak, Kang, dan Gus yang lain saja bertahan di sana, mereka cukup kuat menahan bah, juga taifun yang dicipta manusia.
Gus dan Buya, kami ke belakang bukan karena takut di depan atau hendak lari dari taring yag maha kejam. kami sedang memadamkan bara yang mulai disulut di lumbung-lumbung rahasia. kita saling mendoakan saja, semoga kita tidak longsor di jurang yang sama. salam bakti Gus dan Buya, salam akal budi dan ketenangan jiwa.
*) Colek Cak Robikin Emhas, Joko Sustanto, Herizal E Arifin, Alamsyah Saragih, Paskah Irianto, Rakyat Tandang, Usep Setiawan, Candra Kusuma, Muhammad Syukri, Yudi Fajar, Arief Setyadi, Bung Jack, Abahna Jang Hanif, dan teman-teman lain
0 komentar:
Post a Comment