Karta Widjaja: Sajak Desember 2016

BUKAN CATATAN
Karta Widjaja, 2 Desember 2016

telah kugunakan sepanjang malam jumat legi ini dengan rekes pada leluhur yang senyum dalam kerlip bintang, bukan untuk meminta, tetapi memberi hidangan bagi yang nyata menjaga. memasuki minggu manahil, udara akan memuai yang membuat selisih bisa dibicarakan dengan kejernihan.tetapi bagi yang memulai, akan terkena gelombang aras tuding, terus dituduh dari jaman ke jaman.


SETELAH REDA DALAM KOMA
Karta Widjaja, 3 Desember 2016

hidangan telah terterima sampai ke yang nyata. langit akan cerah, kecuali datang yang ketiga. salam takjim dan terima kasih bagi semut yang menyuburkan pepohonan tua hingga datang batas, kita akan direntas. salam sejahtera bagi angin yang memanggul awan untuk gerimis dan hujan. syukur dan terima kasih atas semua. ampunkan kami, ampunkan jiwa kami, ampunkan leluhur kami. ampunkan keturunan kami.

Sajak Desember 2016 Karta Widjaja
Akulah pernah, asyik bernyanyi-nyanyi
Menidurkanmu anakku jauhari

VARISI BERSAMA SAHABAT
Karta Widjaja, 6 Desember 2016

sore melekat di atap langit
waktu meninggalkan kita dengan berjingjit

Bebangkuan itu menyebutnya sebagai perempuan yang selalu menangis, pelupuknya penuh air mata dengan bilah-bilah kisah yang begitu dekat dengan kematian dan bila disadap gegunungan akan merayap tenggelam. Tentu saja, tubuhnya harus ringkih, seperti selembar kertas lapuk yang siap-siap terberai menjadi humus bagi setiap penantian. “Tidak, aku ikhlas kok, tapi jangan larang air mataku mengurai pohon hingga fosil di lautan”, bisiknya kepada sepasang bingkai yang diserut dari tanduk, bayang-bayang warna seperti panorama dipeluk kabut.

Gunung-gunung digawe sawah
Angel pisan mbanyonane 1)

Mungkin saja, yang diceritakan kitab suci itu bukan penderitaan dan silsilah sakit, tetapi frekuensi aroma hingga kelopak hikmah dan menjadi kuat dalam tiada. “aku sedang belajar berterimakasih dengan senang, apapun itu, berupa malam gelap atau penuh gemintang”, bisik sebuah cangkir kopi yang tak sanggup berpindah ke tenggorokan, pelan-pelan bentuknya memudar dan menghilang dalam cahaya samar.

Akulah pernah, asyik bernyanyi-nyanyi
Menidurkanmu anakku jauhari 2)

Tidak ada kolase tidur yang sanggup merapatkan matanya dari cahaya-cahaya cepat siang, malam, hingga siang lagi. Pepohonan didekatnya yang siap mekar akan gagap, menjadi kuncup lagi atau memilih musnah dengan memanggil jiwa para pemetik yang terobsesi dengan gagasan untuk memberi tanda wujud rasa. Sekeping burung melintas, kalimatnya begitu jelas, “sahabat-sahabatku, sesungguhnya aku ingin menangis, sayangnya kelenjar air mataku tersumbat batu, jadi maafkan saja aku. “

1) Sepenggal syair dari Tarling almarhum Jayana yang kalau diterjemahkan bebas menjadi: “gunung-gunung dibuat menjadi sawah, sangat susah mengaliri airnya”.
2) Sepenggal syair dari lagu “Tidurlah Intan” karya almarhum Ismail Marzuki



HYMNE BUAT IBU
Karta Widjaja, 22 Desember 2016

Ibu, aku berusaha selalu bersama senyummu, di hari berawan atau terang, di badai api atau hujan kesejukan. apapun yang mekar dari tanganmu berupa perdu atau anggrek, bagiku adalah kasih semesta tak berbatas hingga mampu menopang jiwaku ketika berlarian di lorong maha gelap.

ampunkan aku untuk gundahmu
ampunkan jiwaku untuk tangismu.

tidak Ibu, sungguh. untuk sumber air itu, aku akan terus memahat batu ini hingga tembus ke kalbumu. karena itu, aku belajar mengayak debu dan buih, belajar mengeja kejat sunyi, berlatih tak pernah merintih. Al Fatihah.



BAGIKAN
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment