Ditulis oleh Karta Widjaja, 27 Maret 2017
“Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari”1) selalu diiringi jeda untuk kita istirah dan merenungkan segala laku yang sudah terlampui. Beberapa orang mengisinya dengan cara bercanda dan bersenda di kedai-kedai kopi, sebagian ada yang berselancar untuk mengunjungi kampung-kampung di media sosial, saya sendiri biasanya beberapa kali rehat sejenak dengan leyeh-leyeh sambil mendengarkan musik. Model musik yang saya dengarkan, ketika seharian porak-poranda berjibaku bertahan dari gempuran kebutuhan dan pemenuhan, adalah jenis musik keroncong karena syair-syairnya cenderung utopis dan cukup meredakan besetan luka jiwa, seperti “warna air sungai nan jernih/ berayun berkilauan / suara angin lemah gemulai/ aman tentram dan damai.”2) Saya percaya bahwa kondisi sesungguhnya dari sungai Serayu tidak seindah yang diceritakan dalam lagu tersebut, tetapi anggaplah bahwa dengan membayangkan sungai Serayu penuh keindahan mudah-mudahan luka di jiwa kita tertutup, mudah-mudahan sejam kemudian kita bangkit dengan keyakinan baru untuk kembali menjalari gang-gang sempit di kenyataan pahit. Pada kesempatan lain, ketika jiwa sedang tenang, biasanya saya mendengarkan jenis musik yang syairnya cenderung bercerita tentang persahabatan dalam ujian, keterasingan, penerimaan, kekisruhan, dan lain-lain yang sejenis. Salah satu lagu ketika dalam kondisi seperti ini yang agak cukup sering saya dengarkan adalah “Kesepian Kita” dari Pas Band. Saya kutipkan syairnya berikut ini:
KESEPIAN KITA
Ingatkah kawan kita pernah saling memimpikan?
Berlari-lari 'tuk wujudkan kenyataan
Lewati, segala keterasingan
Lalui jalan sempit yang tak pernah bertuan
Ingatkah kawan kita pernah berpeluh cacian?
Digerayangi dan digeliati kesepian
Walaupun, sejenak nafas dari beban
'Tuk lewati ruang gelap yang teramat dalam
Hidup ini, hanya kepingan, yang terasing di lautan
Memaksa kita, memendam kepedihan
Tapi kita juga pernah duduk bermahkota
Pucuk-pucuk mimpi yang berubah jadi nyata
Dicumbui, harumnya putik-putik bunga
Putik Impian yang membawa kita lupa
Hidup ini, hanya kepingan, yang terasing di lautan
Memaksa kita, merubah jadi tawa
Kesepian, barangkali adalah sejenis nomina abstrak yang dirasa oleh banyak orang akibat berbagai peristiwa yang kemudian membeku di dasar rasa sebagai pengetahuan yang sembab. Setiap individu, menjalani dan mengatasi kesepian dengan caranya masing-masing agar tetap mampu menyelesaikannya sampai muara hidup, walau dengan perahu bocor dan tiang layar patah. Sejujurnya, setiap mendengar atau membaca kata “kesepian” saya selalu ingat lagu yang dibuat dengan komposisi sangat menyentuh dari The Beatles. Bahkan salah satu sahabat saya yang sekarang entah dimana, BTD, menyebutnya sebagai lagu paling sedih di dunia dengan bagian potongan syair paling disukainya: “But still they lead me back to the long winding road / You left me standing here, a long long time ago / Don’t keep me waiting here, lead me to your door.” 3)
Dalam soal erotesis yang saya maksud pada lagu “Kesepian Kita” adalah penggunaan pola majas kalimat tanya yang sejatinya tidak memerlukan jawaban. Kalimat tanya itu hanya berfungsi sebagai alat pendedah bagi aku lirik terhadap sahabatnya yang pernah melampui getir-manis-kesat kehidupan secara bersama. Dua bait awal dari lagu “Kesepian Kita” ini menggunakan pola erotesis dengan tujuan yang hampir mirip. Pada bait pertama lebih mengutamakan pengalaman “berlari” agar “impian terwujud” dengan resiko harus melampaui “keterasingan” dan jalan sunyi yang “sempit” dan “tak pernah bertuan”. Kosong, sunyi, dan mencekam yang membuat jantung kita berdegup lebih dari biasanya. Seluruh kelopak kenangan berkelindan membentuk gambaran rumit dan ulu hati kita seperti diperas dengan paksa, tanpa ampas atau dalam bahasa Kriapur, “di kota lapar / pengembara hanya bayang-bayang / ngambang.” 4) Sedangkan, pola erotesis pada bait kedua berfungsi untuk mengantarkan pengalaman aku lirik dan sahabatnya’ yang dilecehkan dalam kehidupan dengan “berpeluh cacian” ditambah dengan “digerayangi” dan “digeliati” oleh kesepian. Itu saja masih belum cukup, karena harus rehat sejenak untuk menarik “nafas dari beban” agar sanggup melampaui “ruang gelap yang teramat dalam”. Pada bagian ini, yang cukup menarik adalah penggunaan kata “digeliati” yang jarang digunakan, baik untuk bahasa percakapan sehari-hari, maupun untuk penulisan puisi dan syair lagu. Asal katanya “geliat” yang lebih sering digunakan dalam kalimat aktif menjadi “menggeliat”. Kelihatannya seperti biasa saja, tetapi menurut saya, sampai mendapatkan kata “digeliati” tersebut membutuhkan usaha keras dengan berbagai percobaan dalam membentuk frasa yang utuh.
Bagian refrain pada lagu ini diulang dua kali dalam pola carmina (pantun pendek) sebanyak dua larik dengan bagian sampiran yang sama, “Hidup ini hanya kepingan, yang terasing di lautan” dengan isi yang berbeda. Pada refrain pertama isinya berupa “Memaksa kita, memendam kepedihan” dengan pola bunyi yang mengikuti sampiran berupa bunyi /an/. Sedangkan, pada refrain yang kedua bagian isinya menceritakan “Memaksa kita, merubah jadi tawa” dengan pola bunyi yang berbeda dari sampiran dan membuat ruang tafsiran menjadi terbuka. Penjelasan tekhnis linguistik ini bukan bertujuan agar kita meresapi lagu “Kesepian Kita” dengan cara yang rumit. Tetapi, bayangkan bahwa dalam proses penciptaan sebuah syair lagu, membutuhkan berbagai perangkat yang mumpuni agar pengucapan menjadi kuat dan mampu membangkitkan pengalaman pendengarnya / pembacanya. Selain itu, dua pola refrain ini juga mengemban penceritaan yang hidup dari “memendam kepedihan” kemudian “berubah menjadi tawa”. Tragedi menjadi komedi atau biasa dikatakan sebagai tragik-komedi, situasi lucu yang getir karena melalui tragedy. Aristoteles pernah mencatatkan ini dalam “Etika” bahwa “salah satu unsur kesenian modern yang baik, didalamnya mengandung tragedy sekaligus komedi.” Saya sepakat dengan pendapat seperti itu karena kebetulan saya agak kurang suka dengan pola syair yang cenderung tragedy sampai dasarnya hingga meminta kita garuk-garuk aspal atau membenturkan kepala ke tembok seolah-olah kehidupan sudah berakhir.
Bagian yang cukup unik adalah satu bait di antara refrain yang tidak lagi menggunakan kalimat dengan majas erotesis. Nuansa yang diciptakannya juga lebih ceria dibanding 2 bait pembuka lagu karena menceritakan tentang pencapaian menjadi “bermahkota” ketika “pucuk mimpi” mewujud dalam alam “nyata”. Meskipun, bagian ini juga tetap dipertentangkan dengan kisah berikutnya terseret oleh “putik-putik bunga” yang “membawa kita lupa”. Tidak penting kemudian apa atau siapa putik bunga tersebut, paling tidak aku lirik berusaha jujur bahwa dirinya tidak cukup sanggup untuk tidak lupa. Apakah arus yang menyeretnya? Menurut saya, bukan. Kita sendiri yang mencebur ke arus itu karena kita toh tetap dikasih kesempatan untuk terseret atau bertahan, bahkan pindah di arus kehidupan yang lain dengan cara memutar dan berpilin sebagaimana pernah diungkapkan WB Yeats, “And saw wherever I could turn / A crown upon the shore.” 5) Tidak ada yang boleh disalahkan karena tindakan kita, kecuali diri kita sendiri. Masalahnya, seringkali kita membuang kesempatan untuk menghindar karena kita juga diam-diam menginginkan.
Sebagai penutup, saya kutipkan serangkaian kalimat yang melintas ketika subuh hendak jatuh, “Di usia tua, tebu akan berbunga dengan warna putih / Menuju senja, semoga Pas Band makin sublim dan jernih.” Ditunggu album barunya. Tabek.
1) Baris pembuka puisi “Ibukota Senja” karya Toto Sudarto Bachtiar
2) Petikan dari lagu “Lgm. Di Tepinya Sungai Serayu” karya Gesang
3) Bait penutup pada lagu “The Long and Winding Road” karya The Beatles (dulu saya sering mendengarkan lagu ini dimainkan dengan komposisi yang apik oleh Anna Joestiana, Alex M. Diredja, Tantan, dan Rafli di acara-acara khusus)
4) Petikan dari puisi “Kota Kota Kota” karya Kriapur
5) Petikan dari puisi “His dream” karya WB Yeats
Salam hormat untuk Yuki Martawidjaja, Richard Mutter, Dadan M Syuhada, juga Deni Mplay, Andi Bachrie, Obbie Suhada, dan sahabat-sahabat yang lain.
0 komentar:
Post a Comment