Menyimak dua cerita rakyat dari daerah Kalimantan Barat dan Sumatera Barat membuat dahi saya berkerut. Dua daerah ini dipisahkan oleh lautan namun memiliki cerita rakyat yang mirip. Kemiripanya bukan pada alur cerita, penokohan, atau latar budayanya. Kemiripan itu ada pada kesimpulan akhir cerita yaitu, anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu.
Cerita rakyat "Batu Menangis" dari Kalimantan Barat dan "Malin Kundang" dari Padang Sumatera Barat menyajikan cerita tentang perjalanan dan perilaku anak durhaka yang pada akhirnya dikutuk menjadi batu. Lalu apa yang membuat dahi saya berkerut? Saya memikirkan tentang si penutur awal dari dua cerita itu yang mengambil 'batu' sebagai simbol hukuman untuk anak yang durhaka.
Mengapa dua cerita itu menggunakan 'batu'? Apakah tidak ada analogi lain pada masa awal cerita ini dituturkan secara lisan? apakah kultur di KALBAR dan SUMBAR sama? Jika melihat dari dua tempat yang terpisah oleh lautan ini, simbol hukuman untuk anak durhaka semestinya bisa berbeda. Mungkin di KALBAR dikutuk menjadi batu dan di SUMBAR dikutuk menjadi kera. Fakta dari isi cerita rakyat yang turun temurun ini ternyata sama, anak durhaka dikutuk menjadi batu.
Baiklah, mari kita lihat ringkasan cerita dari dua dongeng yang saya maksud di atas.
1. Batu Menangis, cerita rakyat dari Kalimantan Barat.
Di sebuah desa yang jauh dari kota, hiduplah seorang janda miskin dengan seorang anak gadisnya yang berparas cantik jelita. Anak perempuan janda ini tidak pernah perduli dengan kondisi kemiskinan yang dialami ibunya. Dia selalu memaksa ibunya untuk memenuhi segala kebutuhannya. Kebutuhan anak ini adalah untuk selalu bisa bernampilan mewah dan berlagak sebagai putri raja.
Ibunya sangat menyayangi anaknya itu sehingga dengan segala daya dan upaya dilakukan untuk memenuhi permintaan anaknya. Bahkan dia sendiri rela tidak makan dan berpakaian secara layak. Penampilan Ibu dan Anak ini jika dilihat sungguh sangat jauh berbeda.
Suatu ketika, ada urusan yang harus mereka lakukan berdua di kota. Sepanjang perjalanan dari desa ke kota, si anak selalu membuat jarak dengan ibunya yang berjalan tertati-tatih karena usia dan rasa lelah. Para tetangga di desa itu yang kebutulan berpapasan di jalan sudah memperingatkan si anak agar berjalan beriringan dengan ibunya agar bisa membantu selama perjalanan. Semakin mendekati kota semakin jauh pula jarak antara anak dan Ibu ini. Bahkan, si anak sempat memperingatkan ibunya untuk tidak terlalu dekat dengannya.
Pada sebuah kesempatan di kota itu, ada seorang pemuda tampan keturunan bangsawan tertarik dengan kecantikan anak janda tua ini. Pemuda itu mendekati dan mengajak berkenalan. Gadis itu sangat bahagia dan berharap si Pemuda akan melamarnya.
Saat mereka sedang asik bercakap-cakap itu, datanglah ibu sang gadis mendekati mereka untuk mengajak pulang anaknya karena hari sudah sore. Melihat seorang wanita tua dengan pakaian yang lusuh itu mengajak pulang gadis yang baru dikenalnya, kontan dia bertannya, "Siapakah Ibu ini? Mengapa dia mengajakmu pulang?"
Gadis itu segera menjawab sambil melihat marah kepada ibunya, "Saya tidak kenal dia, mungkin dia gelandangan yang mengira saya anaknya!". Lalu dengan marah dia berkata kepada Ibunya, "Kamu siapa?! Berani-beraninya mendekati saya dan mengajak pulang! Tidak mungkin saya tinggal dengan kamu. Pergi sana menjauh dari saya!"
Ibu itu tidak menduga sama sekali kalau anak yang disayanginya itu akan berbuat dan berkata seperti itu kepadanya. Dengan raut wajah terkejut dan heran, ibu tua ini menahan tangis dan berkata lirih sambil menatap anaknya, "Ya Tuhanku, seluruh hidupku telah aku lalui dengan kucuran keringat dan air mata untuk menjaga dan memelihara dia agar tidak merasakan kesusahan sepertiku. Sungguh aku tidak percaya dengan mata dan telingaku dengan kejadian ini. Ya Tuhanku, apakah selama ini ternyata aku memelihara sebuah patung batu yang tidak mengerti dan peduli dengan keadaan disekitarnya?"
Tepat saat si Ibu Tua ini menyelesaikan kalimatnya, ada suara keras menggelegar dari langit yang membuat semua orang terkejut. Saat itu pula Si Gadis berubah menjadi Patung Batu! Tak lama kemudian, kedua mata patung gadis itu terlihat seperti basah berair.
Nasi sudah menjadi bubur, kata-kata Sang Ibu telah menjadi kutukan kepada anaknya sendiri. Ibu itu hanya bisa menyesal dan menatap mata patung putrinya yang selalu basah. Mata patung batu yang selalu berair inilah kemudian menjadi legenda "Batu Menangis".
2. Malin Kundang, cerita rakyat dari Sumatera Barat.
0 komentar:
Post a Comment